Kamis, 15 Desember 2011

Citra Pegawai Negeri dan Birokrasi Perlu Dibenahi

Hari ini dalam mata kuliah Etika Profesi dibahas mengenai Mal-Administrasi yang seringkali terjadi dalam dunia kerja terkait dengan pelayanan publik. Tentu ini sangat erat hubungannya dengan dunia kerja yang bakal saya hadapi nanti. Kebetulan saya sekarang bersekolah di salah satu perguruan tinggi kedinasan di bawah naungan salah satu kementerian bergengsi negeri ini. Ya, saat lulus nanti saya akan menyandang predikat profesi sebagai ahli madya yang akan ditempatkan di instansi kepemerintahan atau biar gampang sebut saja saya calon PNS. PNS sendiri merupakan salah satu profesi yang akan banyak melakukan kontak dengan masyarakat karena hakikat daripada PNS itu sendiri adalah public servant. Hm, profesi yang cukup terhormat dong ya. Seneng kan kalau bisa membantu dan melayani masyarakat secara baik, mengabdikan diri untuk masyarakat? Dan karena itu juga lah tanggung jawab yang disandang oleh pegawai publik ini juga cukup besar ternyata.

Jadi, tadi itu sama bapak dosen kami ditugaskan secara berkelompok mengidentifikasi contoh nyata dari mal-administrasi yang terjadi dalam birokrasi pelayanan publik. Mal-administrasi sendiri digolongkan ke dalam 8 hal yang dapat saya tuliskan sebagai berikut.

  1. Ketidakjujuran; ini boleh dibilang sudah sering kita jumpai di dalam pelayanan administrasi di instansi kepemerintahan. Contoh sederhananya adalah adanya pungutan liar (pungli). Coba deh, kebanyakan pasti mengeluhkan atau mengalami sendiri saat membuat KTP, yang katanya bisa gratis tapi tetep aja dimintain 'biaya administrasi' -terlepas dari kebijakan kantor/instansinya sih.
  2. Perilaku Tercela; merupakan tindakan para oknum pelayan publik yang tak hanya merusak nama baiknya secara pribadi tetapi juga mencederai lembaga yang menaunginya serta merugikan banyak pihak yang tak lain adalah masyarakat itu sendiri, apalagi kalau bukan Korupsi. Menengok berita di media massa yang banyak beredar, jujur jadi ngeri juga ngebayanginnya Semoga nanti Tuhan melindungi dan menjauhkan saya dari hal-hal semacam itu, Amin.
  3. Pangabaian dan Pelanggaran Hukum; tak sedikit dari mereka meninggalkan meja kerja di saat seharusnya mencurahkan tenaga dan pikirannya di kantor. Terkecuali bila memang ada surat tugas luar kantor, banyak keluhan dari masyarakat yang mempertanyakan bagaimana bisa para pegawai yang masih mengenakan seragam kerjanya ini berada di ruang publik pada jam kantor dan melakukan hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan mereka. Belum lagi pegawai yang tanpa rasa bersalah menambah waktu liburnya sendiri dan mengabaikan tugasnya di kantor. Atau hal kecil yang mungkin sudah sangat biasa terjadi, terlambat, namun masih saja diulangi kesalahan itu. Rupanya sistem potong gaji tak cukup membuat jera.
  4. Favoritism; kalau seorang ibu punya anak kesayangan boleh dong, tapi bagaimana pun juga kasih sayang ibu sama ratanya kok ke semua anak-anaknya. Hubungan kekerabatan terkadang menghilangkan sikap objektif yang juga menjadikan seorang palayan publik lebih mengedepankan pelayanan untuk kerabatnya. Jadilah yang merasa keluarganya bekerja di kepemerintahan sering kali meminta bantuan untuk 'dimudahkan' urusannya.
  5. Tidak Adil; tak jauh beda dengan poin sebelumnya, ketidakadilan ini biasanya secara nyata dapat kita jumpai, hanya saja ini lebih kepada 'ada duit semua jadi lebih mudah'. Coba saja iseng bikin passport ke kantor imigrasi terdekat. Nah rata-rata orang yang mengurus administrasi untuk pembuatan tanda identitas internasional ini lebih memilih menggunakan jasa calo/biro jasa semacamnya yang memakan biaya hampir dua kali lipat dari biaya normal kalau kita mengurus sendiri. Tak ingin memungkiri, saya pribadi mengaku menggunakan jasa ini karena kebanyakan cerita dari teman ataupun testimonial orang-orang menyebutkan bahwa mengurus sendiri bakal ribet, memakan waktu, harus bolak-balik ke imigrasi, udah gitu antrinya lama. Benar saja, melalui biro jasa, Anda tinggal datang sekali, foto biometrik, dan wawancara; voila! paspor itu akan tiba dengan sendirinya ke tangan Anda. -ini lebih kepada berbagi pengalaman aja ya, tidak ada maksud untuk merekomendasikan penggunaan biro jasa.
  6. Pemborosan dan Penggelapan Dana; meskipun telah diterapkan anggaran berbasis kinerja namun masih saja ada celah bagi oknum tertentu untuk melakukan penggelapan dana. Misalnya, pelaporan nilai belanja yang lebih tinggi dari harga pasaran rata-rata (mark up), atau bisa juga memanipulasi pembiayaan suatu proyek sehingga harga mahal yang dibayarkan sering kali tak sesuai dengan standar dan kualitas yang ada.
  7. Menutupi Kesalahan; poin ini mengingatkan saya akan pelayan yang saya peroleh di sebuah tempat hiburan keluarga (swasta) di mana seorang karyawan yang keukeuh pada pernyataannya bahwa saya bersalah, padahal karyawan yang lain menyatakan dengan segala keyakinannya kalau bukan saya yang seharusnya disalahkan. Mungkin hal semacam itulah yang bisa saja menimpa Anda dalam pelayanan administrasi tertentu, menjumpai seorang pegawai yang tak mau dipersalahkan dan malah melimpahkannya pada orang lain atau memojokkan Anda.
  8. Kegagalan Berinisiatif; dari keterangan yang diberikan dosen ini lebih merujuk pada tidak adanya inisiatif dari seorang pegawai pelayan masyarakat untuk meningkatkan kinerjanya menjadi lebih baik lagi.

pemberitaan mengenai pegawai publik yang terjaring razia
 

Hal-hal tersebut di atas merupakan materi yang dapat saya tangkap dari diskusi kelas kala itu. Perlu saya sampaikan lagi, bahwa identifikasi itu bukan merujuk pada satu profesi tertentu melainkan pada profesi sebagai pelayan publik secara umum. Namun dari banyaknya contoh-contoh yang disampaikan oleh teman-teman, ada satu hal yang cukup mendapat perhatian lebih dari saya yaitu tentang citra pelayanan dari aparatur negara yang sudah semestinya mempunyai semangat untuk melindungi, melayani dan mengayomi masyarakat.

Contoh pelanggaran lalu lintas dan penyelesaiannya secara 'kekeluargaan' atas bukti pelanggaran yang terjadi menjadi identifikasi sederhana atas kedelapan poin mal-administrasi tersebut. Anda tentu sudah dapat menebak profesi yang saya maksud tanpa perlu lagi saya sebut.

Jujur, saya sempat merasa sedikit terganggu dengan rusaknya citra salah satu profesi pengakan hukum dan keadilan di negeri ini. Terlebih, ayah saya sendiri merupakan bagian dari keluarga besar kesatuan profesi ini. Namun saya tahu pasti, ayah saya bukan salah satu dari oknum itu. Boleh ditanyakan ke rekan kerja ayah saya kalau tidak percaya. Karena saya tahu ayah saya itulah, jadi ketika orang mencibir dan berkomentar tidak enak atas profesi itu saya sebenarnya sedikit geregetan juga jadinya. Seolah ingin meneriakkan bahwa tidak semua orang dengan profesi itu akan selalu bertindak macam itu.

Sering juga pas nonton TV bareng teman-teman yang kebetulan memberitakan mengenai kasus yang mencoreng citra profesi itu, mereka turut berkomentar ini itu seolah mengamini pemberitaan yang makin menyudutkan citra profesi itu. Saya cuma bisa nyengir tanpa ada komentar apapun. Bahkan saya bersyukur ketika teman-teman tidak tahu profesi ayah saya itu. Tak jarang juga di hampir mata pelajaran apa pun, masih sering saja disinggung-singgung isu semacam itu. Lagi-lagi saya hanya bisa memasang muka datar, menahan rasa. Tidak, saya tidak marah. Hanya bingung saja harus bagaimana. Toh kalaupun saya membela diri belum tentu pada percaya.

Saat saya ada kesempatan berdiskusi dengan ayah saya mengenai hal ini, ayah memberitahu bahwa profesinya itu adalah profesi yang langsung bersentuhan dengan masyarakat, sehingga ketika kepercayaan masyarakat itu dicederai oleh oknum tertentu, maka runtuhlah citra profesinya itu. Layaknya peribahasa, sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak kan percaya.

Sebagaimanapun upaya untuk memperbaiki citranya, orang masih akan tetap memandang sebelah mata profesi itu. Saya pun sudah kebal akan komentar pedas mereka dan hanya bisa mendoa untuk kebaikan bagi bangsa ini.

Bercermin dari profesi 'sebelah', jadi apa kabar profesi yang akan saya geluti nanti? Hm, mengusahakan yang terbaik yang bisa dan menyerahkan hasilnya pada Tuhan saja.


Alhamdulillah dari keterangan beberapa dosen yang mengajar, di instansi tempat saya bernaung nantinya sudah mengalami banyak perubahan ke arah yang lebih baik tentunya. Reformasi birokrasi yang diusung sudah cukup baik dijalankan, ya meskipun masih ada saja 'budaya lama' yang masih melegenda.



Intinya, bagi seorang pegawai pelayan publik hendaknya dapat melaksanakan profesionalitasnya secara baik dengan berpegang teguh pada kode etik profesi yang ada. Memang tak semudah membalikkan telapak tangan, namun jika benar diniati dari hati dan gunakan logika sederhana 'kita akan menuai apa yang kita tanam' maka mari memulai dari sendiri, dari hal-hal kecil, dan siapa tahu akan membawa dampak besar bagi perubahan birokrasi dan citra profesi kita. Idealis perlu, namun tak harus memaksakan apa yang menjadi prisip/pemikiran kita. Perbaikan 'dari dalam' sangat diperlukan. Jadi, pinter-pinternya kita menempatkan diri. Yakinlah akan ada masanya kesempatan kita untuk mengubah citra yang ada untuk menjadi lebih baik lagi, mengembalikan kepercayaan masyarakat menjadi pegawai publik yang berintegritas.

Bagi masyarakat juga, semoga bisa lebih kooperatif dengan para pegawai publik. Bisa memahami dan memaklumi profesi. Misalnya saja, cobalah sejenak tengok bapak-bapak yang mengawasi lalu lintas di jalanan. Betapa beratnya tugas mereka, dibawah teriknya matahari harus mengatur padatnya lalu lintas dengan tekanan dan resiko pekerjaan yang cukup besar. Jadi, kalau kita sebagai pengguna jalan yang baik, ayolah kita patuhi tata tertib yang ada, biar tidak melanggar dan mendapat tindakan tegas dari bapak-bapak itu tadi. Kalaupun harus dikenai bukti pelanggaran, coba usahakan selesaikan secara hukum, bukan 'kekeluargaan' lagi. Sekali-kali boleh dong mampir ikutan sidang, percaya deh, jauh lebih murah dendanya, dan pengalaman yang didapat pasti bisa jadi cerita berharga. Birokrasi kita mungkin secara umum boleh dikatakan cukup panjang prosedurnya. Dengan peran serta masyarakat yang aktif memberikan saran/masukan, tentu pemerintah akan terus berbenah sehingga birokrasi kita jadi lebih mudah.

Pegawai publik mengabdikan diri bagi masyarakat. Masyarakat dapat turut serta aktif dan kooperatif terhadap kinerja pegawai publik. Jika kedua belah pihak dapat saling memberikan timbal balik positif, maka akan mendatangkan kebaikan bagi keduanya. Profesionalisme tercapai, kepercayaan masyarakat terpenuhi.